Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert masuk ke halaman Pasar Melawai yang menjadi pusat Blok M. Mereka berhenti dan mematikan mesin motor tepat di dekat tangga utama pusat pertokoan itu. Lalu naik satu per satu, menghitung anak-anak tangga. Mereka berdiri seenaknya di tangga itu, memandang terminal bis kota Blok M di seberang jalan.
Para pekerja kantoran yang lewat di halaman beraspal di dekat tangga menengok ke arah empat remaja berseragam putih-putih itu dengan pandangan sebal. Apalagi ketika Ali Topan, sosok yang paling jantan dan tampan yang rambut gondrongnya melambai-lambai tertiup angin itu, menyeringai ke arah mereka.
Ali Topan memang keren. Tingginya 172 cm, dan agak kurus. Kulitnya sawo matang tua. Wajahnya lonjong dengan rahang kokoh dan tulang pip yang tak terlampau menonjol. Hidungnya agak besar dan mancung. Dan, matanya, oh matanya! Sepasang mata itu lebar, besar, karakteristik, dengan bagian hitamnya yang mengesankan kebaikan hati, kecerdasan, kejujuran dan keberanian. Alis mata tebal seperti golok melengkung menjadikan profil wajah itu wajah dengan sentuhan Jawa yang sangat artistik!
Tiga kawannya cukup keren, tapi tak berkarakter dan tak berkharisma seperti Ali Topan. Dudung yang berdiri satu level di bawah Ali Topan adalah anak kelahiran Kuningan, Jawa Barat, berwajah tirus dengan kulit berwarna langsat dan sepasang mata agak sipit. Kepalanya agak besar dan rambutnya ikal keriting.
Bobby dan Gevaert berdiri berdampingan satu level di bawah Dudung. Bobby berwajah agak bundar, rambutnya lurus, namun tak begitu lebat. Pupil matanya kecil, suka melirik ke kiri dan ke kanan. Sedang Gevaert berdarah campuran, ayah Padang dan ibu Jerman. Maka sosoknya sosok indo: badan besar, rambut ikal kemerahan, tapi matanya hitam dan kulitnya putih kecoklatan. Hobinya fotografi.
“Berdiri terus bisa jadi tontonan gratis kita,” kata Ali Topan.
Ia duduk di anak tangga diikuti oleh Dudung dan Gevaert. Bobby tetap berdiri. Ia memang selalu ingin berusaha menonjol dari Ali Topan, Dudung dan Gevaert karena merasa dirinya anak paling kaya diantara mereka. Tetapi selalu gagal, karena urusan kepemimpinan menyangkut kharisma, kewibawaan, dan keunggulan pribadi lainnya. Bukan kekayaan harta benda. Bobby pun merasai pengaruh wibawa itu, tiap kali ia coba tentang dan tiap kali pula gagal. Akhirnya ia ikutan duduk di anak tangga seperti teman-temannya.
“Eh, itu Mercy yang tadi apa bukan, Pan?” tanya Dudung. Tangannya menunjuk ke arah Mercy yang baru masuk ke pelataran parkir pusat pertokoan Melawai.
Ali Topan memandang ke Mercy itu. “Kalau sopirnya cari gara-gara biar gua embat aja. Emang udah seminggu tangan gua nggak ngeplak kepala orang,” katanya. Ia duduk. Tangannya sibuk membuang kulit rambutan yang mengotori tangga itu.
Mercedes diparkir di ujung kanan pusat pertokoan. Anna dan ibunya turun dari mobil itu, dan mereka langsung berjalan ke arah toko buku yang terletak di bagian bawah pertokoan, dekat tangga. Anna berjalan berdampingan dengan ibunya. Keduanya tak memperhatikan situasi sekitar.
Ali Topan Cs duduk seenaknya, pura-pura tak memperhatikan Anna dan ibunya. Ali Topan mengambil sebatang rokok kretek yang diselipkan di kaus kakinya. Bobby, Dudung dan Gevaert juga melakukan hal serupa, mengambil rokok dari kaus kaki masing-masing. Ali Topan mencari-cari korek api di saku baju dan celana jeans-nya. Tapi korek api tidak ada.
“Ade korek, njing?” ia bertanya pada Bobby
“Nggak, nggak ada, njing,” kata Bobby. Lalu Bobby menoleh pada Dudung dan Gevaert.
“Bujug buset, Ai juga nggak ada korek nih. You bawa korek api, Vaert?” tanya Dudung pada Gevaert. Gevaert menggelengkan kepalanya dengan gaya keren.
“Wah, kalau ada Magician lewat asik deh. Bisa minta api,” kata Ali Topan. Dan kebetulan sekali, seorang gelandangan pemungut puntung rokok lewat di dekat mereka sambil memunguti puntung rokok. Ia menjumput sepuntung rokok yang masih panjang. Diselipkannya puntung itu di bibirnya, lalu ia nyalakan puntung itu dengan korek api yang diambilnya dari kantung di balik baju lusuhnya.
Ali Topan bergerak ke arah pemungut puntung. Ditepuknya bahu orang itu. “He, Bung Magician, bagi apanya dong...,” kata Ali Topan. Pemungut puntung itu menyodorkan rokoknya yang telah menyala. Ali Topan menghidupkan rokoknya.
“Thank you, Magician,” kata Ali Topan.
“Ooh, you’re welcome,” jawab pemungut puntung rokok.
Ali Topan terkejut. Ia menatap “magician” yang kini tersenyum manis. Ia bahkan memberikan tabik dengan tangannya kepada Ali Topan. Ia tersenyum dan berlalu.
Bersambung