Friday, August 28, 2020

Bagian 2: Thank you, Magician

     Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert masuk ke halaman Pasar Melawai yang menjadi pusat Blok M. Mereka berhenti dan mematikan mesin motor tepat di dekat tangga utama pusat pertokoan itu. Lalu naik satu per satu, menghitung anak-anak tangga. Mereka berdiri seenaknya di tangga itu, memandang terminal bis kota Blok M di seberang jalan.  

     Para pekerja kantoran yang lewat di halaman beraspal di dekat tangga menengok ke arah empat remaja berseragam putih-putih itu dengan pandangan sebal. Apalagi ketika Ali Topan, sosok yang paling jantan dan tampan yang rambut gondrongnya melambai-lambai tertiup angin itu, menyeringai ke arah mereka.

    Ali Topan memang keren. Tingginya 172 cm, dan agak kurus. Kulitnya sawo matang tua. Wajahnya lonjong dengan rahang kokoh dan tulang pip yang tak terlampau menonjol. Hidungnya agak besar dan mancung. Dan, matanya, oh matanya! Sepasang mata itu lebar, besar, karakteristik, dengan bagian hitamnya yang mengesankan kebaikan hati, kecerdasan, kejujuran dan keberanian. Alis mata tebal seperti golok melengkung menjadikan profil wajah itu wajah dengan sentuhan Jawa yang sangat artistik! 

     Tiga kawannya cukup keren, tapi tak berkarakter dan tak berkharisma seperti Ali Topan. Dudung yang berdiri satu level di bawah Ali Topan adalah anak kelahiran Kuningan, Jawa Barat, berwajah tirus dengan kulit berwarna langsat dan sepasang mata agak sipit. Kepalanya agak besar dan rambutnya ikal keriting. 

    Bobby dan Gevaert berdiri berdampingan satu level di bawah Dudung. Bobby berwajah agak bundar, rambutnya lurus, namun tak begitu lebat. Pupil matanya kecil, suka melirik ke kiri dan ke kanan. Sedang Gevaert berdarah campuran,  ayah Padang dan ibu Jerman. Maka sosoknya sosok indo: badan besar, rambut ikal kemerahan, tapi matanya hitam dan kulitnya putih kecoklatan. Hobinya fotografi.

     “Berdiri terus bisa jadi tontonan gratis kita,” kata Ali Topan. 

      Ia duduk di anak tangga diikuti oleh Dudung dan Gevaert. Bobby tetap berdiri. Ia memang selalu ingin berusaha menonjol dari Ali Topan, Dudung dan Gevaert karena merasa dirinya anak paling kaya diantara mereka. Tetapi selalu gagal, karena urusan kepemimpinan menyangkut kharisma, kewibawaan, dan keunggulan pribadi lainnya. Bukan kekayaan harta benda. Bobby pun merasai pengaruh wibawa itu, tiap kali ia coba tentang dan tiap kali pula gagal. Akhirnya ia ikutan duduk di anak tangga seperti teman-temannya. 

     “Eh, itu Mercy yang tadi apa bukan, Pan?” tanya Dudung. Tangannya menunjuk ke arah Mercy yang baru masuk ke pelataran parkir pusat pertokoan Melawai. 

      Ali Topan memandang ke Mercy itu. “Kalau sopirnya cari gara-gara biar gua embat aja. Emang udah seminggu tangan gua nggak ngeplak kepala orang,” katanya. Ia duduk. Tangannya sibuk membuang kulit rambutan yang mengotori tangga itu. 

    Mercedes diparkir di ujung kanan pusat pertokoan. Anna dan ibunya turun dari mobil itu, dan mereka langsung berjalan ke arah toko buku yang terletak di bagian bawah pertokoan, dekat tangga. Anna berjalan berdampingan dengan ibunya. Keduanya tak memperhatikan situasi sekitar.

   Ali Topan Cs duduk seenaknya, pura-pura tak memperhatikan Anna dan ibunya. Ali Topan mengambil sebatang rokok kretek yang diselipkan di kaus kakinya. Bobby, Dudung dan Gevaert juga melakukan hal serupa, mengambil rokok dari kaus kaki masing-masing. Ali Topan mencari-cari korek api di saku baju dan celana jeans-nya. Tapi korek api tidak ada.

     “Ade korek, njing?” ia bertanya pada Bobby

     “Nggak, nggak ada, njing,” kata Bobby. Lalu Bobby menoleh pada Dudung dan Gevaert.

   “Bujug buset, Ai juga nggak ada korek nih. You bawa korek api, Vaert?” tanya Dudung pada Gevaert. Gevaert menggelengkan kepalanya dengan gaya keren.

     “Wah, kalau ada Magician lewat asik deh. Bisa minta api,” kata Ali Topan. Dan kebetulan sekali, seorang gelandangan pemungut puntung rokok lewat di dekat mereka sambil memunguti puntung rokok. Ia menjumput sepuntung rokok yang masih panjang. Diselipkannya puntung itu di bibirnya, lalu ia nyalakan puntung itu dengan korek api yang diambilnya dari kantung di balik baju lusuhnya.

     Ali Topan bergerak ke arah pemungut puntung. Ditepuknya bahu orang itu. “He, Bung Magician, bagi apanya dong...,” kata Ali Topan. Pemungut puntung itu menyodorkan rokoknya yang telah menyala. Ali Topan menghidupkan rokoknya.

     “Thank you, Magician,” kata Ali Topan.

      “Ooh, you’re welcome,” jawab pemungut puntung rokok.

     Ali Topan terkejut. Ia menatap “magician” yang kini tersenyum manis. Ia bahkan memberikan tabik dengan tangannya kepada Ali Topan. Ia tersenyum dan berlalu.


Bersambung

Sunday, August 9, 2020

Bagian 1: Empat Sekawan Penguasa Jalanan

P agi hari, Senin pertama bulan Juli 1977. Langit biru muda memayungi Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Matahari mencorong di Timur. Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert menaiki motor masing-masing, ngebut di jalanan seputar Blok M. 

     Blok M adalah suatu blok perumahan dan pertokoan seluas kurang-lebih tiga kilometer persegi. Sebelah utaranya dibatasi lapangan Markas Besar Angkatan Kepolisian atau Mabak, sebelah timur dibatasi Jalan Iskandarsyah Raya, sebelah selatan dibatasi Jalan Melawai Raya, dan sebelah baratnya dibatasi Jalan Si Singamangaraja. Kebayoran Baru terdiri dari beberapa blok, dari A sampai S. Penduduknya umumnya pekerja dan pedagang kelas menengah dari luar Jakarta, yang berjumlah sekitar 400.000 orang. 

     Empat sekawan itu adalah murid-murid kelas III Pal - Pengetahuan Alam - satu SMA Bulungan I “Bulungan” yang terletak di ujung timur Jalan Mahakam, Blok C Kebayoran Baru, yang berbatasan dengan Jalan Si Singamangaraja. Mereka tertawa gembira, berdansa di jalanan, itu istilah untuk sport jantung menyelip-nyelipkan motor di sela-sela kendaraan yang melalu-lintas. Wajah-wajah tampan yang cerah, rambut-rambut yang gondrong melambai kena angin, dan bercanda sepanjang jalan merupakan merupakan manifestasi sikap bebas aktif anak-anak muda itu. Oleh kaum tua yang sedikit pikun, mereka dinamakan berandalan atau krosboi, tapi mereka tak peduli.

    Mereka ada di jalan Panglima Polim Raya. Lampu perempatan Jalan Pangporay —Panglima Polim Raya—dan Jalan Melawai Raya menyala kuning. Kemudian merah. Kendaraan umum berhenti. Tapi Ali Topan dan kawan-kawannya langsung saja tancap gas membelok ke arah kiri, memotong kendaraan yang bergerak dari arah Blok M, langsung melaju ke Jalan Bulungan.

     “He, bajingan!” seorang pengendara Toyota Corolla tahun 1973 warna kuning memaki Ali Topan yang hampir ditubruknya. Tapi Ali Topan tak menggubris cacian itu. Demikian pula kawan-kawannya. Mereka terlalu sering mendengar caci maki orang, jadi sudah kebal. 

     Ali Topan Cs tetap ngebut, membelok ke kanan di perempatan Jalan Bulungan—Jalan Mahakam, dan terus menggeblas lewat SMA Bulungan I yang tegak di ujung Jalan Mahakam. Beberapa teman yang ada di depan sekolah melambaikan tangan. Ali Topan Cs tak sempat membalas mereka.

     Nama SMA Bulungan I yang terletak di Jalan Mahakam itu berasal dari riwayat dua SMA di Jalan Bulungan —yaitu SMA Bulungan Pagi dan SMA Bulungan Sore—yang dipisah menjadi dua karena dilokasi itu dibangun Gelanggang Remaja Jakarta Selatan oleh Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Jakarta, atas inisiatif Gubernur Ali Sadikin yang beken dipanggil Bang Ali. SMA Bulungan Pagi menjadi SMA Bulungan I di jalan Mahakam, sedangkan SMA Bulungan Sore menjadi SMA Bulungan II di Jalan Bulungan. 

    Gelanggang Bulungan—nama pop GRJS—diapit oleh dua SMA bersaudara itu. 

   Pada hari peresmiannya, seorang murid lelaki yang patah hati dengn guru perempuan menggambari dinding sekolah itu dengan lambang hati dan anak panah yang patah dan angka Bulungan pakai cat merah darah. Sejak saat itu nama sekolah itu beken dengan sebutan SMA “Patah Ati” atau SMA Bulungan di kalangan remaja Kebayoran.

   Pada formasi dua-dua mereka mengebut terus, memotong jalan raya, lurus menuju kawasan pertokoan Blok M. Sopir biskota, helicak, tuan-tuan di mobil mewah maupun rakyat kelas menengah di atas sadel motor masing-masing memaki kalang kabut, nyaris serempak, ketika para remaja itu seenak hati memotong jalan mereka.

     “Hei! Anjiiiing!” seorang muda yang menyetir Mercedes memaki Ali Topan Cs.

   “Sama, njiiiing!” Ali Topan balas memaki. Ia tampak paling tampan, paling gagah dan paling brandal di antara kawanan anak-anak muda bersepeda motor trail itu.

      Orang muda di belakang setir Mercedes itu mengacungkan tinju ke arah punggung Ali Topan Cs.
Muka sopir itu lancip kayak muka tikus. Ali Topan dan Gevaert kebetulan melihatnya dari kaca spion. Tanpa kode etik lagi, kedua remaja itu me-rem motor mereka, dan mengepoti Mercedes itu. Tak sampai kesenggol moncong Mercedes, Ali Topan dan Gevaert menancap gas, langsung menggeblas ke depan sambil tertawa keras sekali.

     “Kurang ajaaar!” sopir Mercedes itu memaki. Wajahnya merah padam. 

     Wanita menor berusia 45 tahun yang duduk di belakang menekan dadanya. Kaget. Seorang gadis remaja berwajah lonjong yang duduk di samping sopir Mercy itu menggigit bibir sedikit. Rambut panjangnya yag hitam lebat diberi pita merah muda, menjadikannya terlihat manis. Ia merasa geli mendengar makian “anjiiing” dan “kurang ajar” yang terlontar dari mulut tukang setir Mercy-nya.

     “Sudah. Jangan digubris, Boy,” si nyonya yang duduk di belakang berseru. Suaranya rada serak, seperti suara orang sakit TBC. Ia mengusap tas kulit hitam berukiran nama: Ny. Surya. Wajahnya yang tirus dipoles bedak dan gincu kemerahan tampak masam.

     Sopir mobil yang dipanggil Boy patuh. Matanya melirik ke arah gadis di sebelahnya. ”Anak-anak sekarang ini berandalan semua,” gerutunya.

     Nyonya Surya yang duduk di belakang bersuara lagi, “Jammu menunjukkan jam berapa, Anna?”

    Gadis remaja yang manis itu melihat jam tangannya, lalu menjawab tanpa menoleh ke belakang, “Jam tujuh kurang sedikit, Mama....”

     “Kurang sedikit itu berapa?” tanya Nyonya Surya.

    Sepasang mata Anna, putri nyonya Surya, melihat sekilas arloji emas di pergelangan tangan kirinya. “Jam tujuh kurang tiga menit dan beberapa detik, mama,” katanya.

     “Toko buku di Blok M buka jam berapa?” tanya si nyonya lagi.

     “Biasanya sih jam tujuh persis, Mama,” jawab Anna.

     “Kalau tak biasa jam berapa?” Boy bertanya, iseng
.
      Anna tak menjawab. Wajahnya cemberut. Sepasang matanya yang lebar dan cemerlang seperti pagi menatap lurus ke jalanan di depan. Samar-samar di kejauhan dilihatnya anak-anak bermotor tadi membelok ke arah Pasar Melawai, Blok M. Anna mengusap alisnya yang lebat dan indah.